Friday, April 21, 2006

Kenapa tidak ada hari Kartono?

Ini entri blog saya pada hari esok dua tahun yang lalu, dalam rangka hari Kartini.
Bagi yang sudah pernah baca, maaf ya, diulang nih... yang belum, enjoy!

~-***-~

Speaking about Kartini’s Day.
Hari Kartini. Itu kemarin. Dan aku nggak bakal ingat kalau kemarin itu hari Kartini seandainya aku nggak buka blog temanku. Dia cowok, dan dia ingat. Aku cewek, kok aku nggak ingat?

Memang apa hubungannya hari Kartini dengan kenyataan apakah kamu cewek atau cowok?
Mungkin karena sudah terlalu identik bahwa hari Kartini itu harinya kaum wanita. Sejak kecil waktu masih di TK, hari Kartini selalu dirayakan. Mulai dari pakai kabaya dan konde ala Kartini, sampai lomba-lomba bertema kewanitaan. Lomba kebaya, lomba memasak, lomba bikin kue, dan lomba-lomba lainnya. Aku? Tentu saja nggak pernah ikut berpartisipasi, kecuali ikut pakai kebaya dan konde waktu TK dulu, itupun karena semua anak perempuan diharuskan demikian. Maka repotlah ibuku cari pinjaman baju kebaya lengkap dengan kondenya, bangun pagi-pagi, antar aku ke salon untuk di konde, kemudian merias wajahku ala wanita-wanita jaman kerajaan dahulu kala. Repot banget, dan itu sebabnya aku nggak terlalu suka acara hari Kartini. Kadang-kadang aku iri dengan teman-teman cowokku karena mereka nggak usah merasakan ritual-ritual wanita yang merepotkan begitu. Mereka cukup pakai baju adat, yang tidak merepotkan tentunya. That’s it! Lalu sesudah acara selesai mereka bebas ganti baju kaos lagi dan kemudian bisa segera pergi main dengan teman-teman lainnya. Kalo cewek? Nggak cukup ganti baju saja tapi masih harus melepas konde, sisir lagi rambut biar rapi dari hasil sasak yang bikin rambut kusut nggak jelas dan sudah menghabiskan satu botol hairspray, dan terakhir menghapus make-up yang saking tebalnya mungkin nenekku nggak akan kenal lagi sama cucunya ini. Kenapa sih untuk para cowok nggak ada hari Kartono?

Itu hanya masa-masa TK atau SD saja. Untungnya di SMP dan SMA nggak pernah ada kewajiban acara-acara seperti itu. Yang ada hanya acara-acara yang melibatkan beberapa orang tertentu yang memang ingin terlibat, atau terpaksa terlibat karena mereka panitia acara tersebut. Dan aku? Seperti sudah kubilang tadi, tentu saja aku dengan senang hati nggak ikut berpartisipasi.

Lain lagi ceritanya masa kuliah. Aku kuliah di jurusan teknik, dimana mayoritas mahasiswanya adalah cowok. Di angkatanku saja hanya ada 4 orang cewek diantara 61 orang cowok. Entah siapa yang punya ide, akhirnya disepakati untuk hari Kartini para cewek yang cuman 4 orang itu disuruh pake rok ke kampus. Padahal sehari-hari mana pernah pake rok, jeans rules! Seumur hidup saja mungkin bisa dihitung dengan jari tangan (plus kaki deh) berapa kali aku pakai rok untuk acara-acara casual, nggak termasuk pesta pernikahan lho. Akhirnya, pada 21 April, hanya 2 orang dari kami yang pakai rok. Sisanya tetap dengan celana jeansnya, dan salah satunya tentu saja aku sendiri. “Ah kamu ini, nggak Kartini banget sih?” Begitu kira-kira celetuk salah satu teman cowokku waktu itu. Lho, memangnya kalo aku nggak pake rok artinya aku nggak berjiwa Kartini ya? Lagian, seperti apa sih jiwa Kartini itu, aku nggak tahu. Yang aku tahu Cuma Kartini itu pejuang emansipasi wanita.

Emansipasi? Emansipasi itu apaan sih?
Emancipation: [noun] Freeing someone from the control of another; especially parent’s relinquishing authority and control over a minor child. [Type of: freeing, liberation, release] (sumber: WordWeb).

Kalau jaman pelajaran sejarah di SD dulu, emansipasi itu artinya persamaan hak antara wanita dan pria. Intinya Kartini itu memperjuangan persamaan hak antara wanita dan pria, supaya wanita bisa mengecap pendidikan tinggi seperti pria, supaya wanita bisa melakukan usaha-usaha seperti yang dilakukan pria, supaya wanita nggak cuma ngendon di rumah mengurus anak, suami, dan rumah tangga, pokoknya supaya wanita bisa lebih produktif (bukannya produktif punya anak banyak). Tapi toh soal emansipasi ini sekarang sering jadi bahan candaan. Memang sekarang cewek sudah pada bisa nyetir mobil sendiri. Tapi urusan dorong mobil pas lagi mogok, atau urusan ganti ban pas bannya kempes tetep saja cowok yang ketiban. Kalau sudah begitu cowok bilang, “Yah, katanya emansipasi, masak ganti ban aja nggak bisa?” Atau kalau ada cowok yang nggak bisa ganti ban mungkin teman ceweknya bakal bilang “Yah, elu cowok masak nggak bisa ganti ban?”
Iya ya, cewek sendiri yang menuntut emansipasi, tapi seringkali cewek sendiri juga yang sok lemah. Itu yang sering terpikir olehku.

Jadi ingat buku Why Men Don’t Listened and Why Women Can’t Read Maps karangan Barbara & Alan Pease. Dari buku itu aku bisa narik satu kesimpulan penting. Wanita dan pria itu memang berbeda, dan nggak akan bisa disamakan. Kodrat mereka berbeda. Secara komposisi biologis, susunan kimiawi tubuh, dan komposisi hormonal saja berbeda kok. Kalau nggak beda sih untuk apa Tuhan menciptakan pria dan wanita, kenapa nggak semuanya pria atau semuanya wanita saja. Jadi pria dan wanita ada karena mereka saling memerlukan untuk membuat hidup mereka lebih mudah. Masing-masing sudah memiliki kodratnya untuk saling mendukung.

Jadi apa yang salah dengan emansipasi? Tidak ada! Coba kita kembalikan lagi arti kata emansipasi itu sendiri seperti yang sudah aku tulis diatas tadi. Dalam artinya tidak ada sama sekali menyebut tentang gender karena memang arti dasarnya adalah pembebasan. Yang salah ada penyampaian pada masyarakat (dalam hal ini murid SD) bahwa emansipasi adalah persamaan antara wanita dan pria (oops, aduh kualat nggak ya sama guru-guru SD). Well, at least begitulah pendapatku.

Intinya, menurutku emansipasi wanita ini adalah kebebasan wanita untuk menjalankan kodratnya sebagai wanita dalam situasi saling mendukung dengan pria dalam wangka mewujudkan hidup yang harmonis (cieh, berat banget bahasa gua!)

Jadi nggak usah mencak-mencak kalau ada lowongan kerja yang salah satu persyaratannya adalah ‘pria’, Karena berarti memang (mungkin) prialah yang lebih cocok untuk posisi itu. Pasti wanita juga punya porsi sendiri dimana wanitalah yang cocok untuk suatu posisi.

So, kesimpulan dari cuap-cuap gua yang panjang ini adalah: nggak ada hubungannya sama sekali antara cewek yang nggak mau pakai rok untuk hari Kartini dengan jiwa Kartini itu sendiri.

0 comments: